Halaman

Minggu, 15 April 2012

prilaku belajar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Persoalan penanaman nilai-nilai dalam proses pembelajaran di sekolah, sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang terus hangat diperbincangkan. Beberapa pengamat pendidikan menuding bahwa pendidikan dipandang telah gagal menanamkan nilai-nilai universal seperti sifat amanah, kejujuran, kesabaran, dan rendah hati. Menurut Dwi Siswoyo (pakar pendidikan FIP Universitas Negeri Yogyakarta), hal ini terjadi karena proses pendidikan yang berlangsung selama ini masih cenderung terjebak dalam proses pembelajaran yang cenderung bersifat mekanistik, sehingga melupakan esensi pendidikan yang sarat dengan penanaman nilai-nilai universal dalam kehidupan. Ditinjau dari proses pembelajaran, ada dua asumsi yang menyebabkan gagalnya penanaman nilai-nilai universal dalam proses pembelajaran di sekolah. Pertama, munculnya anggapan bahwa persoalan penanaman nilai-nilai universal adalah persoalan klasik yang penanganannya sudah menjadi bagian dari tanggung jawab. Sekolah pada hakekatnya mempunyai peranan yang cukup penting dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku moral anak yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal dalam kehidupan. Sekolah juga mempunyai peranan yang cukup penting untuk memberikan pemahaman dan benteng pertahanan kepada anak agar terhindar dari jeratan negatif media informasi. Oleh karena itu sebagai antisipasi terhadap dampak negatif media informasi tersebut, sekolah selain memberikan bekal ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS), serta ketrampilan berfikir kreatif, juga harus mampu membentuk manusia Indonesia yang berkepribadian, bermoral, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa. BAB II PEMBAHASAN A. PERILAKU BELAJAR Setiap perilaku belajar selalu ditandai oleh ciri-ciri perubahan yang spesifik. Karakteristik perilaku belajar ini dalam beberapa pustaka rujukan, antara lain Psikologi Pendidikan Oleh Surya (1982), disebut juga sebagai prinsip-prinsip belajar. Diantara ciri-ciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar yang terpenting adalah: 1. Perubahan itu Intensional perubahan yang terjadi dalam proses belajar ialah berkat pengalaman atau praktik yang dilakukan dengan sengaja dan disadari, atau dengan kata lain bukan kebetulan. Karakteristik ini mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya perubahan yang dialami atau sekurang-kurangnya ia merasakan adanya perubahan dalam dirinya, seperti bertambahnya pengetahuan, kebiasaan, sikap dan pandangan terhadap sesuatu, keterampilan dan lainnya. Maka dari itu, perubahan yang diakibatkan mabuk, gila, dan lelah tidak termasuk dalam karakteristik belajar, karena individu yang bersangkutan tidak menyadari keberadaannya. 2) Perubahan itu Positif dan Aktif Perubahan yang terjadi karena proses belajar bersifat positif dan aktif. Positif artinya baik, berguna, serta sesuai dengan harapan. Hal ini juga bermakna bahwa perubahan tersebut senantiasa merupakan penambahan, yakni diperolehnya sesuatu yang baru yang lebih baik daripada apa yang telah ada sebelumnya. Adapun perubahan aktif artinya tidak terjadi dengan sendirinya, seperti karena proses kematangan, akan tetapi karena proses itu sendiri. 3) Perubahan itu Efektif dan Fungsional Perubahan yang timbul karena proses belajar bersifat efektif, yakni berguna. Yakni, perubahan tersebut membawa pengaruh, makna, manfaat tertentu bagi peserta didik. Selain itu, perubahan dalam proses belajar bersifat fungsional dalam arti bahwa ia relatif menetap dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan tersebut dapat direproduksi dan dimanfaatkan. Perubahan fungsional dapat diharapkan memberi manfaat yang luas (misalnya ketika siswa menempuh ujian dan menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya). B. Makna nilai dalam perspektif kehidupan Secara harfiah kata nilai mengandung makna sebagai sesuatu yang yang diyakini kebenarannya dan dianut serta dijadikan sebagai acuan dasar individu dan masyarakat dalam menentukan sesuatu yang dipandang baik, benar, bernilai maupun berharga. Istilah nilai menurut C. Kluckhohn (John W. Berry, dkk., 1992: 102) disebutkan bahwa “Nilai menunjuk pada suatu konsep yang dikukuhi individu atau suatu anggota kelompok secara kolektif mengenai sesuatu yang diharapkan (desirable) dan berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari beberapa alternative Nilai dalam kajian sosiologi dan antropologi merupakan konstruk yang disimpulkan sebagai sesuatu yang dianut masyarakat secara kolektif dan pribadi-pribadi secara perorangan (John W. Berry, dkk., 1992: 102). Dalam sosiologi istilah nilai sering disebut dengan istilah nilai sosial. Menurut Lukman Hakim & E.J. Ningsih (1997: 28), nilai sosial adalah pandangan dan sikap yang diterima oleh masyarakat yang dijadikan dasar dalam menentukan apa yang baik dan bernilai atau berharga. Woods (Lukman Hakim & E.J. Ningsih, 1997: 29) menyatakan bahwa: “Nilai sosial adalah petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama dan mengarahkan kepada tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari”. Sedang menurut Saifuddin Azwar (1998: 57), nilai merupakan bagian dari kepribadian individu yang dapat mewarnai kepribadian kelompok atau kepribadian bangsa. Nilai bukan saja dijadikan rujukan untuk bersikap dan berbuat dalam masyarakat, akan tetapi dijadikan pula sebagai ukuran benar tidaknya suatu fenomena perbuatan dalam masyarakat itu sendiri. Apabila ada suatu fenomena sosial yang bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, maka perbuatan tersebut dinyatakan bertentangan dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, dan akan mendapatkan penolakan dari masyarakat tersebut. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan dianut serta dijadikan sebagai acuan dasar individu dan masyarakat dalam menentukan sesuatu yang dipandang baik, benar, bernilai maupun berharga. Nilai merupakan bagian dari kepribadian individu yang berpengaruh terhadap pemilihan cara maupun tujuan tindakan dari beberapa alternatif serta mengarahkan kepada tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian nilai merupakan daya pendorong dalam hidup, yang memberi makna dan pengabsahan pada tindakan seseorang. Oleh karena itu, nilai dalam setiap individu dapat mewarnai kepribadian kelompok atau kepribadian bangsa. C. teknik dan pendekatan penanaman nilai dalam proses pembelajaran Teknik pembelajaran yang berorientasi pada nilai (afek) menurut Noeng Muhadjir (Muhaimin, 2002) dapat dibedakan menjadi beberapa macam, diantaranya yaitu: teknik indoktrinasi, teknik moral reasoning (pemikiran moral), teknik meramalkan konsekuensi, teknik klarifikasi, dan teknik internalisasi. a. Teknik indoktrinasi. Ada beberapa tahap untuk melakukan prosedur teknik indoktrinasi, yaitu 1. brainwashing, yakni guru memulai penanaman nilai dengan jalan merusak atau mengacaukan terlebih dahulu tata nilai yang sudah mapan dalam diri siswa, sehingga mereka tidak mempunyai pendirian lagi. Metode yang dapat digunakan guru untuk mengacakau pikiran siswa, antara lain dengan tanya jawab, wawancara mendalam dengan teknik dialektik. 2. mendirikan fanatisme, yakni guru berkewajiban menanamkan ide-ide baru yang dianggab benar, sehingga nilai-nilai yang ditanamkan dapat masuk kepala anak tanpa melalui pertimbangan rasional yang mapan. Dalam menanamkan fanatisme ini lebih banyak digunakan pendekatan emosional daripada pendekatan rasional. Apabila siswa telah mau menerima nilai-nilai itu secara emosional, barulah ditanamkan doktrin sesungguhnya 3. penanaman doktrin. Pada tahap ini guru dapat memakai pendekatan emosional; keteladanan. Pada waktu penanaman doktrin ini hanya dikenal satu nilai kebenaran yang disajikan, dan tidak ada alternatif lain. Semua siswa harus menerima kebenaran itu tanpa harus mempertanyakan hakekat kebenaran itu. b. Teknik moral reasoning. Teknik ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu dengan jalan: 1. penyajian dilema moral. Pada tahap ini siswa dihadapkan dengan problematik nilai yang bersifat kontradiktif, dari yang sifatnya sederhana hingga yang kompleks. Metode penyajiannya dapat melalui observasi, membaca koran/majalah, mendengarkan sandiwara, melihat film dan sebagainya; 2. setelah disajikan problematik dilemma moral, dilanjutkan dengan pembagian kelompok diskusi. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok kecil untuk mendiskusikan beberapa hasil pengamatan terhadap dilemma moral tersebut; 3. membawa hasil diskusi kelompok ke dalam diskusi kelas, dengan tujuan untuk klarifikasi nilai, membuat alternatif dan konsekuensinya; 4. setelah siswa berdiskusi secara intensif dan melakukan seleksi nilai yang terpilih sesuai dengan alternatif yang ajukan, selanjunya siswa dapat mengorganisasikan nilai-nilai yang terpilih tersebut ke dalam dirinya. Untuk mengetahui apakah nilai-nilai tersebut telah diorganisasikan siswa ke dalam dirinya dapat diketahui lewat pendapat siswa, misalnya melalui karangan-karangannya yang disusun setelah diskusi, atau tindakan follow up dari kegiatan diskusi tersebut. c. Teknik meramalkan konsekuensi. Teknik ini sesungguhnya merupakan penerapan dari pendekatan rasional dalam mengajarkan nilai. Teknik ini mengandalkan kemampuan berpikir ke depan bagi siswa untuk membuat proyeksi Nilai yang sudah mempribadi inilah yang dalam Islam disebut dengan kepercayaan/keimanan yang istikomah, yakni keimanan yang sulit digoyahkan oleh kondisi apapun. Sedang ditinjau dari pendekatan penanaman nilai, ada beberapa pendekatan penanaman nilai yang dapat digunakan guru dalam proses pembelajaran, antara lain yaitu pendekatan: pengalaman, pembiasaan, emosional, rasional, fungsional, dan keteladanan (Ramayulis, 2004). Pertama, pendekatan pengalaman. Pendekatan pengalaman merupakan proses penanaman nilai-nilai kepada siswa melalui pemberian pengalaman langsung. Dengan pendekatan ini siswa diberi kesempatan untuk mendapatkan pengalaman spiritual baik secara individual maupun kelompok. Kedua, pendekatan pembiasaan. Pendekatan pembiasaan adalah suatu tingkah laku tertentu yang sifatnya otomatis tanpa direncanakan terlebih dahulu dan berlaku begitu saja tanpa dipikirkan lagi. Dengan pembiasaan pembelajaran memberikan kesempatan kepada peserta didik terbiasa mengamalkan konsep ajaran nilai-nilai universal, baik secara individual maupun secara berkelompok dalam kehidupan sehari-hari. Ketiga, pendekatan emosional. Pendekatan emosional adalah upaya untuk menggugah perasaan dan emosi siswa dalam meyakini konsep ajaran nilai-nilai universal serta dapat merasakan mana yang baik dan mana yang buruk. Keempat, pendekatan rasional. Pendekatan rasional merupakan suatu pendekatan mempergunakan rasio (akal) dalam memahami dan menerima kebenaran nilai-nilai universal yang di ajarkan Kelima, pendekatan fungsional. Pengertian fungsional adalah usaha menanamkan nilai-nilai yang menekankan kepada segi kemanfaatan bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari, sesuai dengan tingkatan perkembangannya. BAB III PENUTUP 1. Pendidikan dipandang telah gagal menanamkan nilai-nilai universal seperti sifat amanah, kejujuran, kesabaran, dan rendah hati. Hal ini terjadi karena proses pendidikan yang berlangsung selama ini masih cenderung terjebak dalam proses pembelajaran yang cenderung bersifat mekanistik, sehingga melupakan esensi pendidikan yang sarat dengan penanaman nilai-nilai universal dalam kehidupan. 2. Sekolah pada hakekatnya mempunyai peranan yang cukup penting dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku moral anak yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal dalam kehidupan. Sekolah juga mempunyai peranan yang cukup penting untuk memberikan pemahaman dan benteng pertahanan kepada anak agar terhindar dari jeratan negatif media informasi. 3. Beberapa teknik pembelajaran yang dapat digunakan guru untuk menanamkan nilai-nilai di sekolah, diantaranya yaitu: teknik indoktrinasi, teknik moral reasoning (pemikiran moral), teknik meramalkan konsekuensi, teknik klarifikasi, dan teknik internalisasi. 4. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan guru untuk menanamkan nilai-nilai dalam proses pembelajaran di sekolah, antara lain yaitu: pendekatan pengalaman, pembiasaan, emosional, rasional, fungsional, dan pendekatan keteladanan. DAFTAR PUSTAKA Jalaluddin. (1995). Psikologi agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. John W. Berry, dkk. (1999) Psikologi lintas-budaya: riset dan aplikasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Light, D., Keller, S., & Calhoun, C. (1989). Sociology. New York: Alfred A. Knopf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar